Selasa, 30 April 2019

Lampu Jalan di Tawangmangu

Tawangmangu. Otwbos.com
Serupa kelokan Cikijing, terserah menuju Majalengka atau sebaliknya, lebih-lebih jika ambil belokan arah kiri menuju Ciamis. Melipir turun kearah Kuningan kota menuju Geronggong-Cirebon juga tidak jauh berbeda. Menarik gas masuk wilayah Banjar untuk selanjutnya bertemu Pangandaran, atau lebih jauh ke timur dari Kediri menuju kota Batu dengan membelah jalur Pujon-Ngantang. Boleh juga menepi di Selo-lereng Gunung Merapi dan Merbabu. Begitulah perasaan yang didapati dari jalanan Tawangmangu apabila diteliti sejak sore hingga malam hari, syaratnya sederhana lalui ketika hujan.

Beberapa Teman yang mengerti seberapa sering saya melalui bahkan menginap disekitaran kawasan Linggarjati, menanyakan tujuan dan alasan yang sulit sekali untuk dijelaskan. Perasaan damai, sensasi kelabu, suhu dingin, siluwet Ciremai menjelang subuh, dan tentunya lampu jalan selalu jadi andalan untuk membuat mereka puas, mungkin. Kini, Tawangmangu berhasil masuk dalam daftar tempat yang wajib saya kunjungi mengingat persamaan hasil yang didapatkan dari bertamu kebeberapa tempat sebelumnya.

Kemarin malam, untuk kesekian kalinya bersama dengan Ema sekitar jam 21.30 WIB meluncur menyusuri jalanan Kota Karanganyar. Kami sepakat untuk melanjutkan perjalanan hingga kaki Gunung Lawu, tepatnya Tawangmangu. Saya percaya sebagian besar orang Indonesia setuju dan berhasrat untuk setidaknya tinggal beberapa waktu di daerah dengan suhu relatif dingin, menyajikan panorama lereng-lereng perbukitan hijau dipagi hari, dan bertemu orang-orang yang ramah.

Suhu di Tawangmangu menginjak angka mungkin 14-16°, masih ada walaupun tidak banyak kedai-kedai yang menyuguhkan kopi lokal untuk disinggahi 24 jam terjaga. Beruntungnya, Ema adalah perempuan yang antusias dan sepemahaman untuk menikmati aktivitas demikian.

"Coba Kau lihat air hujan tipis yang berpendar tepat dibawah cahaya lampu jalan Em"
"Kenapa?"
"Jangan tunggu kopimu dingin"
"Oh ya, jadi kenapa dengan air hujan?"
"Sudah kubilang, lihatlah"
"Sudah kulihat"
"Apa yang Kau lihat?"
"Lampu sama Hujan"
"Hanya itu?"
"Iya hehe"
"Suka?"
"Iya"
"Kau bohong Em"
"Haha iya, biasa saja"

Disini, jalanan tidak seramai dikota, tidak menuntut bagi penduduknya untuk terbiasa menyambut dan melepas orang sesering warga urban. Hanya ada 5 pengunjung lain berjarak dua meja dari kami. Dilempar bongkahan bata atau dikucuri sianida pada masing-masing tenggorokannya mungkin perlu disegerakan karena terlampau ribut mencari sudut foto. Saya yakin sekali pemilik kedai juga sependapat.

Jam 23.42 hujan masih turun dengan intensitas yang sama, mengguyur stabil dan tersisa beberapa gelintir kentang goreng yang lebih mirip tai bayi kucing di atas piring. Lembek. Kami duduk diserambi depan, berhadapan langsung dengan jalan menanjak, tepat diseberang, lampu jalan menjadi satu-satunya penghibur mata.

"Jadi, ada apa dengan lampu jalan Ed?"
"Sudah berapa kali kita kesini Em?"
"Tiga kali, ya?"
"Sudah agak reda, mari pulang"
"Aku belum ngantuk kok"
"Berbohong bukan keahlianmu Em, jangan lupa jaket"
"Hehe kamumah, aku foto dulu ya"
"Kau tau kan kalau sampai seribut mereka apa akibatnya?"
"Siap boos"

Pemilik kedai melepas kami dengan lagu George Ezra berjudul Hold my girl, entah apa maksudnya tiba-tiba Ia mengganti Ipank yang sedang melantunkan ada yang hilang pada bagian Reff di sound system miliknya. Mungkin, Ia ingin memberi nuansa romantis bagi kami sepasang muda mudi yang siap pergi menerjang gerimis tipis. Orang yang baik, sayang pada beberapa bagian sel diotaknya kendor dan perlu dipalu bagian dagunya tiga atau empat kali.

Kabut turun, jarak pandang berkisar antara 3-5 meter, seperti kelambu, kabut menutupi sorotan cahaya lampu jalan. Disaat yang sama sepertinya Ema sudah lelap dibelakang, ditandai dari apitan lemas kedua lengannya. Sesekali kami berpapasan dan disalip kendaraan lain, dan itu pertanda baik bahwa kami masih berada didunia manusia. Memacu kecepatan sepeda motor 20-40 KM/jam membuat saya leluasa menikmati tiang-tiang lampu dipinggir jalan, mengamati cahaya yang entah berwarna kuning atau putih, yang pasti taburan tipis air hujan dan olesan kabut berhasil menjadi variasi pemandangan paling ideal.

Saya masih ingat betul, betapa kagetnya ketika Ema dengan manja bergumam

"Hai, jadi ada apa dengan lampu jalan?"
"Jangan manja, tidak perlu, aku sudah tertarik padamu tanpa itu".
"Jawab dulu"
"Sebentar lagi sampai Solo, tidurlah manis".

Saya tau betul Ia tersenyum sembari menarik tangan kiri saya untuk Ia genggam. Pemilik kedai sepertinya peramal. Didepan sana masih banyak lampu jalan yang menunggu untuk saya nikmati, selamat malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar